Selasa, 07 Januari 2014

MASIH BEROPERASINYA 2500 MW PEMBANGKIT LSTRIK DIESEL ITULAH TOLOK UKUR KEGAGALAN PROYEK PEMBANGKIT 10.000 MW


Ketika pada tahun 2004 bangsa ini menapak ke suatu titik-balik dari negara pengekspor bahan bakar minyak menjadi negara NET IMPORTER bahan bakar minyak, seharusnya program-program untuk mengantisipasi perubahan perjalanan bangsa akibat krisis energi ini dilaksanakan dengan serius. Mungkin kalau saya meminjam pikirannya Pak Harto, bahwa marilah kita mulai dengan program PELITA dalam kerangka REPELITA agar bangsa ini dapat bisa terbang lepas landas menuju suatu kemajuan dan kemakmuran yang didambakan. Titik-balik menjadi negara NET IMPORTER bahan bakar minyak itu suatu kondisi sangat kritis, semua komponen bangsa dan rakyat nusantara ini harus disadarkan bahwa bahan bakar minyak itu sudah menjadi barang mewah. Tidak ada pilihan akhirnya negara memutuskan pada tahun 2006 sampai sekarang akan BBM akan disubsidi, dan sampai tahun 2013, subsidi barang mewah ini telah melebihi Rp 1400 Trilyun. Ingat Bro, bahwa angka raksasa ini akan menggerus devisa negara, akan menggerus biaya pendidikan dan pertahanan negara.

Pada tahun 2006-2007 gong program percepatan pembangkit listrik 10.000 MW Non-BBM ini dimulai. Konstruksi PLTU normalnya membutuhkan minimum 18 bulan - 30 bulan untuk agar pembangkit itu mulai beroperasi COD mesin pembangkit pertama. Kalau pada tahun 2014 ini, berapa banyak pembangkit di luar Pulau Jawa yang belum beroperasi COD I, terus jadwal waktu yang sangat molor sampai 60 bulan, bagaimana tolok ukur menghitung kerugiannya. Berbagai alasan perizinan, ketersediaan lahan, atau vendor China dapat dimuntahkan berulang-ulang, tetapi sangsi dan tindakan hukumnya belum tampak ke permukaan agar membuat efek jera semua para aktor pemain yang mencederai kepentingan publik ini.

Ada sekitar 25 listing PLN dan 37 listing IPP swasta dari 10.000 MW pembangkit PLTU untuk luar Pulau Jawa yang dibangun oleh konsorsium lokal+asing(china). Kalau semuanya keluar dari jadwal, kalau kontraktornya berhenti, kalau proyek IPP suka-suka barng bekas, kalau performance guarantee tidak tercapai akibat regulasi TKDN yang dipaksakan, kalau tetap beroperasi 2500 MW pembangkit listrik diesel, sebenarnya maunya apa penguasa negara ini terhadap kepentingan publik yang emergensi ini. Banyak dugaan pada tahun 2006 tentang kepentingan politik yang bermain, mafia pengusaha inkubator industri TKDN, penguasa, legislator yang bermain dengan kelemahan fundamental dari PT PLN yang mungkin sengaja dibuat kondisinya seperti sampai saat ini.

Siapa yang mengawasi kepentingan publik yang vital ini menjadi pertanyaan besar. Apakah memang ada unsur kesengajaan rekayasa tingkat politik tinggi membiarkan program energi ini TANPA PELITA dan TANPA REPELITA dan lebih parah lagi TANPA TARGET LEPAS LANDAS KAPAN? 

Kalau kontraktor cap inkubator TKDN santai-santai saja membayar denda 5% maksimum atas keterlambatan, kemudian kontraktornya berhenti di jalan. Kalau investor proyek IPP swasta (Independent Power Producer) santai-santai saja membeli barang bekas, kalau performance guarntee tidak menjadi ukuran sangsi. Rasanya masa depan bangsa ini akan suram dengan aktor permainan hitam kelas tinggi ini. 

Apakah dengan adanya Undang-Undang TPPU pencucian uang dapat melacak dan menindak dari para pelaku-pelaku pengusaha hitam ini. Proyek pembangkit 10.000 MW untuk luar Pulau Jawa hampir seluruhnya didanai perbankan nasional. Disinilah masalahnya ketika jaminan kolateral dari para kontraktor dan investor itu tidak dipersyaratkan atau mungkin nilainya kecil, apakah memang hal ini yang membuka peluang pembobolan bank. Suatu modus pembobolan seperti bank Century, BLBI, disini para aktor koruptor melihat peluang trilyunan fasilitas publik yang dapat dimainkan.

Kelihatan rasa pesimis sangsi hukum yang dapat diberlakukan disini. Kalaupun Komisi Pemberantasan Korupsi masuk meneyelidiki ini, maka pekerjaan ini seperti melacak dari tahun 2006 atas benang kusut dan carut-marut kebijakan pemerintah yang telah dibuat dan menyebabkan proyek 10.000 MW luar pulau Jawa ini gagal. Tolok ukur dasarnya sederhana, yakni masih beroperasinya 2500 MW pembangkit listrik diesel sejak tahun 2006 mulai berlaku subsidi BBM.

Saya tidak mengagumi Pak Harto, tetapi ucapannya tetap menarik disimak. Kita akan memulai PELITA dalam kerangka REPELITA agar tercapai TARGET TINGGAL LANDAS. Paling tidak filosofi Pak Harto, adalah beliau berencana dalam bahasa kerangka target yang terukur.                   

1 komentar:

  1. http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2017/06/15/715911/fadli-zon-pencabutan-subsidi-listrik-menurunkan-daya-beli-masyarakat
    Fadli Zon: Pencabutan Subsidi Listrik Menurunkan Daya Beli Masyarakat
    Metrotvnews.com, Jakarta: Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencabut subsidi bagi pelanggan R-1 atau 900 VA. Kebijakan itu mulai diterapkan secara bertahap sejak Januari tahun 2017.

    Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, pencabutan subsidi listrik bagi 18,7 juta rumah tangga pelanggan R-1 atau 900 VA, membuat hidup masyarakat semakin menderita. Dia menganggap pemerintah tak peka terhadap kondisi rakyat.
    Ditambah lagi kenaikan tarif listrik ini dilakukan tanpa proses sosialisasi, persetujuan atau konsultasi dengan DPR. Semua dilaksanakan secara sepihak oleh pemerintah.

    “Pemerintah tak peka terhadap kondisi masyarakat dan terkesan tidak memikirkan dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Di tengah lesunya perekonomian, kebijakan pencabutan subsidi itu justru akan makin memperlemah pertumbuhan ekonomi.” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis 15 Juni 2017.

    Politikus Gerindra itu mengungkapkan, pencabutan subsidi akan berdampak pada daya beli masyarakat yang tentunya pasti mengalami penurunan. Padahal, Produk Domestik Bruto (PDB) kita ini 54-56 persen disumbang oleh konsumsi domestik.

    Melemahnya daya beli masyarakat dapat dilihat pada kuartal pertama 2017. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan, hanya mencapai 4,8 persen, lebih rendah dibanding kuartal yang sama tahun lalu
    "Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi," ungkap dia.

    Bukti lain turunnya daya beli dapat dilihat saat ini, jelang Hari Raya Idul Fitri. Fadli menyebutkan, tingkat konsumsi masyarakat saat ini hanya mencapai 10 hingga 15 persen saja. "Sangat rendah, tak ada peningkatan berarti," tegas dia.

    Tak hanya sampai disitu, turunnya daya beli masyarakat otomatis pada sketor industri. Fadli menyebutkan, lemahnya daya konsumsi masyarakat akan membuat ekspansi bidang bisnis menjadi terkendala dan ujungnya membuat perekonomian jadi stagnan.

    "Saya mendengar sendiri bahwa sejak beberapa bulan lalu para pengusaha, baik yang bergerak di sektor properti, otomotif, maupun ritel, sudah mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat ini," sebut dia.

    BalasHapus