Senin, 30 Desember 2013

(16) KEPENTINGAN PUBLIK YANG TERHEMPAS DAN HUKUM YANG TUMPUL



Ketika proyek-proyek pembangkit 10.000 MW terlambat atau mangkrak atau kontraktornya berhenti, apakah negara diuntungkan jika hanya diberlakukan denda maksimum 5% terhadap kontraktornya, Jika proyek pembangkit PLTU itu minimum Rp 500 milyar, apakah negara untung memberlakukan denda hanya Rp 25 milyar. Di negara ini koruptor gampang merubah-rubah wajah kemudian akan muncul lagi dalam wajah baru dengan perusahaan baru tetapi tetap di bidang yang sama yakni mengelabuhi proyek-proyek fasilitas publik dengan dalih industri nasional jasa konstruksi dilindungi "INKUBATOR TKDN".  Sejak tahun 2006 - 2013, kemudian akan ada lagi proyek tambahan percepatan pembangkit PTU 5000 MW.

Kalau hukum di negara ini tetap tumpul karena uang, maka proyek-proyek tersebut akan tetap sama hasilnya. Pada saat ini KPK sedang gencar-gencarnya memberlakukan undang-undang TPPU pencucian uang terhadap pelakuk koruptor. Kalau kontraktor itu berhenti seharusnya undang-undang TPPU diberlakukan disini, Angka proyek Rp 500 milyar itu raksasa, semua kontraktor cap inkubator TKDN itu akan berusaha mati-matian mendapatkan proyek tersebut dengan segala cara. Apakah proyek sebesar Rp 500 milyar mempunyai jaminan kolateral harta kontraktor yang nilainya sama sebesar nilai proyek tersebut.

Begitu banyak alasan dari kontraktor seperti lahan dan perizinan, pembayaran terlambat, vendor China bermasalah dan sebagainya. Tetapi untuk kepentingan publik, seharusnya hukum tidak menjadi tumpul. Banyak pejabat negara yang mengabaikan proyek-proyek IPP pembangkit listrik swasta PLTU yang telah mempunyai perjanjian PPA ( pembelian tenaga listrik ), tetapi proyek PLTU tersebut asal jadi karena barang bekas, mangkrak atau terlambat. Tetapi betapa pikiran sempit dari pejabat-pejabat tersebut menyatakan bahwa negara tidak dirugikan karena tidak dibiayai oleh anggaran negara. 

Kalau saya bilang proyek IPP pembangkit swasta ini, adalah modus pembobolan uang negara lewat bank-bank nasional, jika proyek tersebut tidak berkwalitas dengan barang bekas atau menjadi mangkrak. Disini undang-undang TPPU juga harus diberlakukan, karena oknum pemilik PLTU tersebut bebas dari jangkauan hukum walaupun PLTU nya tidak berkwalitas. Ini akibatnya kalau "INKUBATOR TKDN" dimanfaatkan oleh tikus-tikus koruptor tingkat tinggi.

Proyek-proyek nilai raksasa untuk kepentingan publik memang menjadi sasaran empuk oleh koruptor, tetapi siapakah sebenarnya yang mengawasi PT PLN dan Kementrian ESDM yang mempunyai hak monopoli untuk kepentingan rakyat banyak? Dahulu proyek-proyek pembangkit melalui pengawasan bank Asia ADB atau bank dunia, karena vendor-vendor teknologinya masih dari Eropa atau Jepang, sehingga mereka mengawasi kinerja PLN. Tetapi sekarang siapa yang menilai kinerja PT PLN secara teknis-ekonomis ? Pengawasan internal ? DPR mengawasi ? Kalau menurut saya, karena PT PLN dan ESDM itu monopolistik, maka tidak ada lembaga yang independen mengawasi kepentingan publik di bidang energi listrik ini. Ke depan tentunya rakyat yang akan dirugikan karena kontrol publik terhadap PT PLN dan ESDM ini tumpul secara hukum.

Swastanisasi pembangkit, pelayanaan energi listrik, bisa dilihat dari proyek IPP pembangkit swasta yang kondisinya byar-pet karena barang bekas. Proses pembelian energi lewat PPA begitu panjang prosedurnya menyita waktu, sementara kebutuhan listrik sudah sangat darurat mendesak. Kalau melihat perjalanan antara PT TELKOM dan PT PLN, tentunya semuanya bisa berkaca dari sini, rakyatlah harus menjadi pemenang. Itu saja. 

DOWNLOAD E-BOOK GRATIS 115 HALAMAN :
MUDAH-MUDAHAN BERGUNA UNTUK SEMUANYA : CALEG DPR/DPRD, PENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK, PENGAMAT ENERGI, INSINYUR MUDA, BUPATI, GUBERNUR, WALIKOTA, PEMBUAT PELAKSANA KEBIJAKAN PUBLIK, PENYIDIK DAN PENEGAK HUKUM :

CLICK COVER DEPAN E-BOOK INI :
 https://drive.google.com/file/d/0B3NuRG2hANhaU3BvZmJncEJYRW8/edit?usp=sharing

https://drive.google.com/file/d/0B3NuRG2hANhaY21JQlFWM01HRnM/edit?usp=sharing
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar