Selasa, 24 Desember 2013

(6) KRISIS ENERGI LISTRIK LUAR PULAU JAWA

Suatu hari saya pernah menjadi engineer di suatu proyek IPP PLTU di daerah Sumatera. IPP itu artinya proyek investasi modal sendiri bukan dari tender EPC PLN. IPP singkatannya Independen Power Plant. Proyek IPP ini juga merupakan program proyek 10.000 MW swasta, dimana listriknya akan dibeli oleh PLN lewat perjanjian Power Purchase Agreement. Kapasitas pembangkit batubara itu kecil dibawah 25 MW. 

Proyek ini didanai oleh investor/kontraktor EPC lokal. Saya melihat betapa cerobohnya dari segi disain dimana boiler menggunakan lokal, tetapi yang spektakuler adalah turbine generatornya bekas. Suatu pekerjaan yang sangat riskan dalam hal jadwal waktu yang ketat. Pekerjaan engineering PLTU khususnya untuk merangkai suatu boiler dengan turbine, bukanlah pekerjaan mekanika saja. Justru pekerjaan elektrikal instrumentasi yang menjadi suatu standar teknik yang tinggi.  Secara teoretis engineering DCS mungkin biasa-biasa saja, tetapi pada saat programming, aplikasi interface, maka boiler dengan turbine-generator mestilah sudah punya standar protokol komunikasi dan sistem proteksi. Di seluruh dunia paket pembangkit PLTU boiler-turbine adalah suatu pasangan vendor yang menyatu, teruji dalam suatu PLTU yang telah beroperasi secara handal reliable.

Tetapi hebatnya engineer Indonesia, men-coba-coba menggandeng boiler lokal dengan turbine-generator bekas dalam jadwal waktu yang ketat. Dari kaca-mata penglihatan saya sebagai electrical engineer, melihat disainnya sudah tidak mengikuti standar PUIL, IEC, apalagi pelaksanaannya. Lebih hebatnya lagi PLTU itu telah beroperasi, dengan standar ketar-ketir, byar-pet.

Nah , dana investasi ini sudah cukup besar, kontraktor/investor saling berganti, karena proyek PLTU dengan PPA itu laku di mata perbankan. Para oknum pelaku bisnis IPP PLTU jadi kaya raya, tetapi kebutuhan listrik di daerah tersebut tidak tertolong. Demo pemadaman listrik sudah menjadi langganan. Artinya uang bank untuk mendanai proyek IPP tsb sudah keluar, hasilnya adalah PLTU byar-pet ketar-ketir, tetapi oknum pemilik PLTU itu semakin kaya raya.

Nah dapat dibayangkan jika ada puluhan PLTU IPP dilaksanakan sembarang hanya untuk membobol uang bank yang artinya uang rakyat yang diperoleh dari hutang luar negeri.

Beginilah regulasi TKDN yang hanya menghasilkan mafia investor / kontraktor EPC lokal kelas teri 
yang duduk di legislatif, kemampuannya hanya bisa membobol uang rakyat.    


E-BOOK GRATIS 115 HALAMAN :
MUDAH-MUDAHAN BERGUNA UNTUK SEMUANYA : CALEG DPR/DPRD, PENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK, PENGAMAT ENERGI, INSINYUR MUDA, BUPATI, GUBERNUR, WALIKOTA, PEMBUAT PELAKSANA KEBIJAKAN PUBLIK, PENYIDIK DAN PENEGAK HUKUM :

CLICK COVER DEPAN E-BOOK INI :
 https://drive.google.com/file/d/0B3NuRG2hANhaU3BvZmJncEJYRW8/edit?usp=sharing

 https://drive.google.com/file/d/0B3NuRG2hANhaY21JQlFWM01HRnM/edit?usp=sharing

1 komentar:

  1. http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2017/06/15/715911/fadli-zon-pencabutan-subsidi-listrik-menurunkan-daya-beli-masyarakat
    Fadli Zon: Pencabutan Subsidi Listrik Menurunkan Daya Beli Masyarakat
    Metrotvnews.com, Jakarta: Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencabut subsidi bagi pelanggan R-1 atau 900 VA. Kebijakan itu mulai diterapkan secara bertahap sejak Januari tahun 2017.

    Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, pencabutan subsidi listrik bagi 18,7 juta rumah tangga pelanggan R-1 atau 900 VA, membuat hidup masyarakat semakin menderita. Dia menganggap pemerintah tak peka terhadap kondisi rakyat.
    Ditambah lagi kenaikan tarif listrik ini dilakukan tanpa proses sosialisasi, persetujuan atau konsultasi dengan DPR. Semua dilaksanakan secara sepihak oleh pemerintah.

    “Pemerintah tak peka terhadap kondisi masyarakat dan terkesan tidak memikirkan dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Di tengah lesunya perekonomian, kebijakan pencabutan subsidi itu justru akan makin memperlemah pertumbuhan ekonomi.” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis 15 Juni 2017.

    Politikus Gerindra itu mengungkapkan, pencabutan subsidi akan berdampak pada daya beli masyarakat yang tentunya pasti mengalami penurunan. Padahal, Produk Domestik Bruto (PDB) kita ini 54-56 persen disumbang oleh konsumsi domestik.

    Melemahnya daya beli masyarakat dapat dilihat pada kuartal pertama 2017. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan, hanya mencapai 4,8 persen, lebih rendah dibanding kuartal yang sama tahun lalu
    "Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi," ungkap dia.

    Bukti lain turunnya daya beli dapat dilihat saat ini, jelang Hari Raya Idul Fitri. Fadli menyebutkan, tingkat konsumsi masyarakat saat ini hanya mencapai 10 hingga 15 persen saja. "Sangat rendah, tak ada peningkatan berarti," tegas dia.

    Tak hanya sampai disitu, turunnya daya beli masyarakat otomatis pada sketor industri. Fadli menyebutkan, lemahnya daya konsumsi masyarakat akan membuat ekspansi bidang bisnis menjadi terkendala dan ujungnya membuat perekonomian jadi stagnan.

    "Saya mendengar sendiri bahwa sejak beberapa bulan lalu para pengusaha, baik yang bergerak di sektor properti, otomotif, maupun ritel, sudah mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat ini," sebut dia.

    BalasHapus